PERSENTUHAN LAWAN JENIS PENYEBAB BATALNYA WUDLU
PERSENTUHAN LAWAN JENIS
PENYEBAB BATALNYA WUDLU
يَاآيُّهَا
الَّذِيْنَ أَمَنُوْا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ
وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بْرُؤُسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ
إِلَى الْكَعْبَيْنِ – وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْا – وَإِنْ كُنْتُمْ
مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ
لاَمَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا
فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ مِنْهُ – مَا يُرِيْدُ اللهُ
ليَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ
نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan (basuhlah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu
junub, maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali
dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh
air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia
hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu
bersyukur”. (Q.S. Al-Maidah : 6)
Salah satu dari tujuh penyebab batalnya wudlu adalah
persentuhan lawan jenis yang bukan mahram, tanpa alas. Sebelum membahas
lebih jauh persentuhan lawan jenis sebagai penyebab batalnya wudlu, ada baiknya
terlebih dahulu diperjelas pemahaman tentang 1), perbedaan pengertian lamsun
dan massun, 2). mahram.
Para
ulama membedakan pengertian antara massun dan lamsun, antara lain
: a) massun adalah menyentuh khusus dengan telapak tangan,
sementara lamsun persentuhan antara dua kulit yang mana saja, tidak
hanya dengan telapak tangan, b) massun bisa terjadi pada diri
seseorang, misalnya menyentuh organ tubuh sendiri, sementara lamsun hanya
terjadi antara setidaknya dua orang, c) dalam hal lamsun
membatalkan wudlu orang yang menyentuh dan yang disentuh, sedangkan massun
membatalkan hanya orang yang menyentuh, misalnya menyentuh kelamin orang lain,
maka yang batal wudlunya hanyalah orang yang menyentuh, bukan orang yang
disentuh. (lihat
‘Ianat al-Thalibin Juz I, hal : 64)
Orang
sering mengaburkan perbedaan arti muhrim dan mahram. Muhrim merupakan isim fai’l dari ahrama –
yuhrimu – ihraman – muhrimun, yang berarti orang yang
melakukan ihram, baik ihram haji maupun ihram umrah.
Sedangkan mahram adalah bentuk masdar
mim dari haruma – yahrumu – hurman – mahraman,
yang berarti haram, atau terlarang. Maksudnya haram terjadi aqak/ikatan
pernikahan. Lebih spesifik lagi untuk perempuan yang haram dinikahi, disebut muharramah.
Status Mahram bagi seorang perempuan terus melekat beserta akibat hukumnya.
Seorang perempuan yang bukan mahram meskipun sudah menjadi isteri setatusnya
tetap bukan mahram, sebab kalau mahram,
justru tidak halal dinikahi.
Ulama
Hanafiah –ulama yang menggunakan metodologi /manhaj Imam
Abu Hanifah-- berpendapat, bahwa tidak semua persentuhan lawan jenis dapat
membatakan wudlu, kecuali persentuhan yang sangat buruk, yaitu pertemuan
dua kelamin dalam kondisi ereksi tanpa penghalang yang dapat meredam
kehangatan tubuh, atau persentuhan kulit lelaki dan perempuan dalam kondisi
gairah disertai ereksi, tanpa penghalang pakaian.
Ulama
Malikiah berpendapat, bahwa wudlu menjadi batal karena menyentuh
dengan cara, yang dalam ukuran umum dapat menimbulkan kenikmatan terhadap
orang, baik perempuan atau pria, sebagai istri, orang lain, atau mahram,
bahkan belum baligh sekalipun. Obyek
yang disentuh
berupa kulit, kuku atau rambut, tanpa ataupun dengan alas, baik tipis atau
tebal, semuanya membatalkan wudlu. Persentuhan dengan orang, asal menimbulkan
kenikmatan, membatalkan wudlu, begitu juga berciuman mulut secara mutlak
membatalkan wudlu. Adapun berciuman bukan mulut membatalkan wudlu apabila orang
yang mencium dan orang yang dicium sama-sama dewasa.
Persentuhan
yang membatalkan wudlu, menurut Ulama Malikiah, harus terdapat 3 unsur, yaitu :
1) Orang yang menyentuh sudah dewasa, 2) Orang yang disentuh secara umum
termasuk menggairahkan, 3) bermaksud memperoleh sensasi kenikmatan dari
persentuhan tersebut.
Ulama
Hanabilah,
ulama yang menggunakan metodologi /manhaj Imam Hambali-- berpendapat, bahwa
menyentuh kulit perempuan dengan syahwat tanpa penghalang membatalkan
wudlu apabila secara umum menimbulkan syahwat karena sudah dewasa, dan bukan
lagi anak-anak, sekalipun sudah menjadi mayit, atau sudah renta, atau merupakan
mahram, atau masih anak kecil, tetapi sudah menimbulkan syahwat, yaitu berumur
minimal tujuh tahun, sehingga tidak ada beda antara orang lain dan mahram,
orang dewasa dan anak kecil.
Pengikut
Imam Hambali berpendapat, bahwa menyentuh rambut, kuku dan gigi tidak
membatalkan wudlu, begitu juga anggota tubuh yang terpisah, karena sudah
kehilangan kemuliaannya. Menyentuh Khuntsa musykil (waria, atau manusia
dengan dua alat kelamin, lelaki dan perempuan, yang tidak jelas kelamin mana
yang berfungsi), menyentuh sesama jenis tidak membatalkan, walaupun disertai
syahwat. Namun demikian, menurut Ulama pengikut Imam Hambali, disunatkan
berwudlu.
Kesimpulan hukum oleh ketiga kelompok Ulama Hanafiah,
Malikiah dan Hanabilah, bahwa persentuhan pria dan perempuan membatalkan wudlu
apabila memenuhi persyaratan tertentu tersebut didasarkan pada firman Allah Swt
:
يَاآيُّهَا
الَّذِيْنَ أَمَنُوْا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ
وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بْرُؤُسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ
إِلَى الْكَعْبَيْنِ – وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْا – وَإِنْ كُنْتُمْ
مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ
لاَمَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا
فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ مِنْهُ – مَا يُرِيْدُ اللهُ
ليَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ
نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan (basuhlah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu
junub, maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali
dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh
air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia
hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu
bersyukur”. (Q.S. Al-Maidah : 6)
Makna
hakikat atau arti denotatif lams adalah persentuhan dua kulit. Sementara
Ulama Hanafiah, menukil pendapat Abdullah Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud lams
pada ayat tersebut adalah arti konotatifnya, yaitu bersetubuh.
Sedangkan
Ulama Malikiah dan Hanabilah yang berpendapat bahwa persentuhan kulit yang
menyebabkan batal wudlu dengan syarat adanya syahwat berpedoman dari gabungan
ayat tersebut dan beberapa hadits, antara lain yang diriwayatkan oleh Aisyah
r.a.
عَنْ
عَائِشَةَ رضي الله عنها : أَنَّ النَّبِيَّ r
قَبَّلَ بَعْضَ نِسَائِهِ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ وَلَمْ يَتَوَضَّاْ.
اخرجه أحمد وضعفه البخارى.
Dari
Aisyah r.a. : “Sesungguhnya Nabi Saw mencium salah satu isterinya, kemudian
keluar untuk melaksankan shalat dan belum wudlu”. Hadits dikeluarkan oleh Imam
Ahmad, dan Al-Bukhari menganggap Hadits Dla’if.
Ulama
Syafi’yah berpendapat, bahwa persentuhan secara langsung kulit lelaki dan
perempuan lain yang bukan mahram membatalkan wudlu, meskipun sudah mati,
atau tua renta lagi buruk rupa, dan tanpa sengaja. Sedangkan rambut, gigi dan
kuku tidak membatalkan, begitu juga persentuhan yang terhalang oleh semacam
pakaian.
Faktor
penyebab batalnya wudlu adalah dugaan timbulnya rasa nikmat yang mengarah pada
syahwat, yang tentu saja kurang layak untuk orang yang dalam kondisi suci.
Dasar
yang digunakan untuk menentukan hukum sebenarnya sama, yaitu ayat 6 surat
Al-Maidah. Bedanya, kalau Ulama Hanafiah, Malikiah dan Hanabilah menggunakan
arti konotatif, sedangkan Ulama Syafi’iyah menggunakan makna aslinya. Lams
berarti persentuhan dua kulit, bukan persetubuhan. Sebab kalau lams diartikan bersetubuh, yang terjadi
adalah junub, justru diwajibkan mandi, bukan sekedar wudlu. Sedangkan hadits
tentang mencium yang diriwayatkan oleh Aisyah merupakan hadits dla’if
karena dalam sanad atau transmisi hadits terdapat perawi yang cacat kapabilitas
dan kredibilitasnya, dan mursal karena terhenti hanya sampai pada
Aisyah, dan tidak datang langsung dari Nabi, sehingga tidak dapat dijadikan
dasar hukum. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Referensi :
Ad-Dimyati,
Abi Bakar. tt. I’anat al-Thalibin, Indonesia : Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah
Al-Shin’ani,
Muhammad, 1991, Subul al-Salam, Bairut : Dar al-Fikr
Al-Zuhaili,
Wahbah. 2005, Al-Fiqhul Islam wa Adillatuh, Damaskus : Dar al-Fikr
0 Response to "PERSENTUHAN LAWAN JENIS PENYEBAB BATALNYA WUDLU "
Posting Komentar