PANDANGAN ISLAM TERHADAP LINGKUNGAN HIDUP
PANDANGAN ISLAM TERHADAP LINGKUNGAN HIDUP
I.
Pengertian Agama
Agama berasal dari bahasa
Sansekerta yaitu ; a tidak, gama kacau. Kalau digabungkan agama
artinya tidak kacau . Dalam bahasa belanda kita kita temukan kata-kata ga,
gaan dan dalam bahasa Inggris kata go yang artinya sama dengan gam:
pergi, namun setelah mendapatkan awalan dan akhiran a pengertiannya
berubah menjadi jalan. Dalam bahasa Bali agama
artinya peraturan, tata cara, upacara hubungan manusia dengan raja; igama
artinya peraturan, tata cara, upacara dalam hubungan dengan dewa-dewa; ugama
artinya peraturan, tata cara dalam berhubungan antar manusia. Ketiga kata itu
kini dipakai dalam tiga bahasa; agama dalam bahasa Indonesia ,
igama dalam bahasa Jawa dan ugama dalam bahasa Melayu (Malaysia ) dengan pengertian yang
sama.
Menurut ajaran Islam, istilah agama
itu diistilahkan diin mengandung pengertian pengaturan hubungan manusia
dengan Tuhan (vertikal) dan hubungan manusia dengan manusia dalam
masyarakat, termasuk dirinya sendiri, dan alam lingkungan hidupnya (horizontal).
Agama adalah “ the problem
of ultimate concern” : masalah yang mengenai kepentingan mutlak setiap
orang. Ia tunduk kepada Tuhan yang Maha Kuasa, tetapi (bersamaan dengan itu)
ia terangkat, karena merasa mendapat keselamatan. Keselamatanlah yang menjadi
tujuan akhir kehidupan manusia dan keselamatan itu akan diperolehnya
melaluipelaksanaan keyakinan agama yang ia peluk. (Mohammad Daud Ali,
SH, Pendidikan Agama Islam, Ed.1. Cet. 5, pt. Raja Grafindo Persada, 2003 Jakarta .
Hal. 35-39).
II. Manusia dan Alam Semesta
Sesungguhnya kalau dilihat dari
sudut pandang manusia, yang ada adalah Allah dan alam (semesta). Allah
pencipta, sedang alam yang diciptakan. Alam adalah segala sesuatu yang dapat
ditangkap oleh panca indera, perasaan dan pikiran kendatipun samar-samar.
Sebelum Allah menciptakan Adam
sebagai manusia pertama, alam semesta telah diciptakan-Nya dengan tatanan kerja
yang teratur, rapi dan serasi. Dengan
sunnatullah alam semesta dapat bekerja secara sistemik (menurut suatu cara yang
teratur rapi) dan berkesinambungan, tidak berubah-ubah, tetap saling
berhubungan berketergantungan dan sekaligus secara dinamis saling melengkapi. Sebagaimana
firman Allah SWT.
…وَخَلَقَ
كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا
“… Dia telah menciptakan
sesuatu, dan Dia pula yang memastikan (menentukan) ukurannya dengan sangat rapi”.(Q.S.
Al-Furqon : 2).
Alam mempunyai eksistensi yang riil dan obyektif berjalan mengikuti
hukum-hukum yang tetap. Alam raya sebagai ciptaan dari sebaik-baik pencipta,
yaitu Allah, maka alam mengandung kebaikan pada dirinya dan teratur secara
harmonis. Allah SWT telah menjadikan gunung-gunung di permukaan bumi, ada yang
tinggi, ada yang sedang, ada yang merupakan dataran tinggi saja, ada yang
berapi dan ada pula yang gunung itu merupakan pasak atau paku bumi. Dengan
adanya gunung, permukaan bumi menjadi indah, ada yang tinggi dan ada yang
rendah. Tumbuh-tumbuhan pegunungan pun berbeda dengan tumbuh-tumbuhan yang ada
di dataran rendah, demikian pula binatang-binatangnya. Dengan adanya
gunung-gunung, maka ada pula sungai-sungai yang mengalir dari dataran tinggi ke
dataran rendah, dan akhirnya bermuara kelaut, seakan-akan gunung itu merupakan
tempat penyimpanan air, yang terus-menerus mengalir memenuhi keperluan manusia.
Jika di permukaan bumi ini tidak ada gunung-gunung yang menghijau,
bukit-bukit yang berbaris, lembah dan jurang yang dialiri sungai-sungai, padang rumput dan padang
pasir, tentulah keadaan bumi ini lain dari yang sekarang ini. Betapa hambarnya
hidup di dunia seandainya bumi ini merupakan daratan yang datar terhampar saja,
sesayup-sayup mata memandang, hanya terdapat dataran yang
luas saja, tidak bervariasi dan tidak ada tanaman dan binatang yang beraneka
ragam itu.
Selanjutnya Allah SWT menerangkan bahwa Dia menciptakan langit dan bumi
ini sebagai tempat penuh keberkatan bagi manusia, penuh dengan keindahan,
dilengkapi dengan segala macam yang diperlukan manusia untuk kelangsungan
hidupnya dan keperluan makhluk-makhluk lain. Sejak dari udara yang dihisap
setiap saat, makanan-makanan yang diperlukan, tempat-tempat yang sejuk dan
nyaman, lautan yang luas dapat dilayari dan diambil ikannya, angkasa yang luas
dapat diarungi, barang tambang yang terpendam di dalam tanah dan banyak lagi
nikmat yang lain yang disediakan-Nya yang tidak terhitung macam jumlahnya.
Alam semesta diciptakan oleh
Allah dengan hukum-hukum yang berlaku baginya yang kemudian diserahkan-Nya
untuk dikelola dan dimanfaatkan. Pengelolaan dan pemanfaatan alam semesta
beserta semua isinya dipercayakan Allah kepada manusia yang merupakan bagian
alam semesta itu sendiri. Manusia diberi wewenang mengelola dan memanfaatkannya
merupakan kedudukan yang istimewa yaitu sebagai khalifah. Khalifah arti
harfiahnya adalah pengganti wakil. Menurut ajaran Islam, manusia selain sebagai
abdi diberi kedudukan sebagai khalifah mengelola dan memanfaatkan alam semesta
terutama mengurus bumi ini. Agar dapat menjalankan kedudukannya itu manusia
diberi bekal berupa potensi di antaranya adalah akal yang melahirkan berbagai
ilmu sebagai alat untuk mengelola dan memanfaatkan alam semesta terutama
mengurus bumi ini.
III. Pandangan Islam terhadap
eksistensi Alam
Allah telah menciptakan alam raya ini dengan sebenarnya. Alam semesta
yang indah dan menajubkan ini adalah benar-benar hadir dan sekaligus merupakan
salah satu bukti keagungan penciptanya. Allah juga telah menciptakan
hukum-hukumnya yang berlaku umum yang menunjukkan kemahakuasaan dan
keesaan-Nya. Allah berfirman dalam Al Qur’an :
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ
وَالْأَرْضَ بِالْحَقِّ وَيَوْمَ يَقُولُ كُنْ فَيَكُونُ قَوْلُهُ الْحَقُّ وَلَهُ
الْمُلْكُ يَوْمَ يُنْفَخُ فِي الصُّورِعَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ وَهُوَ
الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ
"Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi
dengan benar. Dan benarlah perkataan-Nya di waktu dia mengatakan :”Jadilah,
lalu terjadilah”, dan ditangani-Nya-lah segala kekuasaan diwaktu sangkala
ditiup. Dia mengetahui yang gaib dan yang nampak. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana
lagi Maha Mengetahui" (Q.S. Al-An’am:73).
Alam raya ini dalam pandangan Islam merupakan kenyataan yang
sebenarnya. Pandangan ini berbeda dengan penganut aliran Idealisme yang
menyatakan bahwa alam tidak mempunyai eksistensi yang riil dan obyektif melainkan
semu, palsu, ilusi dan maya atau sekedar emanasi atau pancaran dari dunia lain
yang kongkrit yang disebut dunia idea. Sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an
:
وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَالْأَرْضَ
وَمَا بَيْنَهُمَا بَاطِلًا …
"Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara
keduanya (tanpa hikmah) sia-sia…. ".(Q.S.Shaad:27)
Kemudian dalam ayat lain Allah menolak anggapan bahwa diciptakannya
alam ini hanya sekedar main-main, tanpa maksud dan tujuan.
وَمَا خَلَقْنَا السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ
وَمَا بَيْنَهُمَا لَاعِبِينَ, مَا خَلَقْنَاهُمَا إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَكِنَّ
أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
"Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara ke
duanya dengan bermain-main. Kami tidak menciptakan keduanya melainkan dengan
hak, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui".(Q.S.Ad-Dukhan:38-39)
Pandangan Islam juga berbeda dengan penganut aliran materialisme. Aliran
materialisme memang menyatakan bahwa alam ini benar-benar ada, riil dan
obyektif. Namun eksistensi alam ini dalam dugaan aliran materialisme adalah ada dengan sendirinya. Sedangkan menurut
pandangan Islam, alam raya ini diciptakan Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Allah
yang menciptakan sekaligus memelihara alam ini serta mengatur segala urusannya.
Firman Allah dalam Al Qur’an :
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ
السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَيُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا
وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلَا لَهُ
الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“SesungguhnyaTuhan kamu ialah Allah yang
telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas
‘Arasy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat dan
(diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing)
tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak
Allah. Maha Suci Allah Tuhan semesta alam”. (Q.S.
Al-A’raf:54).
Allah pula yang telah menentukan kadar dan ukuran segala sesuatu.
Mengadakan makanan pengenyang yang sesuai dengan keadaan binatang atau manusia
yang memerlukannya. Untuk manusia disediakan-Nya padi, gandum dan sebagainya.
Untuk binatang ternak disediakan-Nya rumput dan sebagainya. Berapa banyak
jumlah manusia, berapa banyak ikan di laut, burung yang beterbangan,
binatang-binatang yang hidup di dalam rimba semuanya disediakan Allah rizeki
dan keperluan hidupnya, sesuai dengan keadaan masing-masing.
Kejadian langit dan bumi itu, dari mula terjadinya sampai kepada bentuk
yang ada sekarang melalui proses-proses tertentu, sesuai dengan sunnatullah.
Segala yang ada di bumi dan di langit akan ada pada waktunya dan akan hilang
pula pada waktunya sesuai dengan keadaan langit dan bumi pada waktu itu.
Seperti kehidupan akan ada di bumi setelah ada air dan sebagainya. Dia
menghiasi langit-langit dengan benda-benda angkasa yang gemerlapan; ada bintang
yang bercahaya sendiri dan ada pula planet yang menerima cahaya dari matahari. Karena
itu terlihat cahaya benda-benda angkasa itu tidak sama. Tapi justru dalam
ketidaksamaan cahaya benda-benda angkasa itu menimbulkan keindahan yang tiada
taranya.
Semua yang diterangkan di atas merupakan ciptaan Allah, yang harus
tunduk kepada ketetapan-ketetapan-Nya.tidak ada satupun dari yang
diciptakan-Nya yang menyimpang dari ketetapan-Nya itu. Dia maha mengetahui
keadaan makhluk yang diciptakannya itu, baik yang halus maupun yang kasar, baik
yang nyata maupun yang tersembunyi (Al-Qur’an dan Tafsirnya, VIII : 646-649).
IV. Manusia bertanggung jawab
atas kelestarian lingkungan hidupnya
Lingkungan hidup, tiada lain adalah alam semesta ciptaan Allah ini.
Oleh karena itu harus dipahami secara utuh dan menyeluruh (holistik).
Lingkungan hidup disebut sebagai sesuatu yang utuh, karena mempunyai
bagian-bagian atau komponen-komponen. Ada
lingkungan alam (tanah, air, udara, tumbuhan dan hewan) ada lingkungan binaan
manusia (kota , desa,
perkebunan, industri) dan ada lingkungan hidup social dimana manusia bermasyarakat.
Sebaliknya komponen-komponen itu disebut demikian karena merupakan bagian dari
suatu keutuhan (Soerjani,1995).
Jadi lingkungan hidup merupakan sistem keutuhan yang menyatu dengan
keberadaan (eksistensi), perjuangan hidup, dan perkembangan peradaban serta
masa depan manusia.
Sebagai anggota dari sejenis makhluk ciptaan Tuhan di persada bumi,
walaupun dalam kehidupan ini berstatus sama dengan status makhluk hidup yang
lain, tetapi manusia menyandang kewajiban yang berbeda dari ciptaan Tuhan yang
lain itu. Hal ini disebabkan manusia dilebihkan oleh penciptanya dengan
“kesempurnaan” akal dan fikiran (noosfir = alam pikiran). Justru karena itulah
maka evaluasi atau sejarah perkembangan manusia sangat berbeda dengan
perkembangan makhluk hidup jenis lainnya. Dengan kelebihan akal pikiran,
manusia dalam perjuangan hidupnya mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi,
tidak saja untuk keselamatan diri (survive), tetapi lebih dari itu juga untuk
meningkatkan kesejahteraan serta mengembangkan kebudayaan dan jati diri manusia
(Soerjani, 1996: 1).
Dalam pandangan Islam besarnya tanggungjawab
manusia ini karena manusia merupakan puncak ciptaan dan makhluk Allah yang terbaik,
dengan diberi-Nya akal dan dipersiapkan untuk menerima bermacam-macam ilmu
pengetahuan dan kepandaian, sehingga dapat berkreasi (berdaya cipta) dan
sanggup menguasai seluruh alam dan binatang (Al-Qur’an dan Tafsirnya, X :
767).
Allah SWT menegaskan kelebihan
manusia dari makhluk lainnya yaitu:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي ءَادَمَ
وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ
وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
"Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak adam, Kami angkut mereka
di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami
lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang
Kami ciptakan". (Q.S.Al-Isra
: 70).
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa Dia telah memuliakan Adam (dan
keturunannya) dengan raut muka yang indah, potongan yang serasi dan diberi
akal, agar dapat menerima petunjuk, untuk berbudaya dan berpikir guna mencari
keperluan hidupnya, mengelola kekayaan alam serta menciptakan alat pengangkut
di darat, di lautan maupun diudara. Dan Allah telah memberikan rezeki kepada mereka
yang baik-baik, yang terdiri dari makanan yang didapat dari tumbuh-tumbuhan dan
binatang. Allah menegaskan pula bahwa Dia telah melebihkan mereka itu dengan
kelebihan yang sempurna, dari kebanyakan makhluk lain yang diciptakan-Nya
(Al-Qur’an dan Tafsirnya, V:632-633). Dengan martabatnya yang demikian
tinggi itu, maka manusia dijadikan khalifah atau wakil Tuhan atau penguasa di
bumi.
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلَائِفَ
الْأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا
ءَاتَاكُمْ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
"Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan
sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu
tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat
siksaan-Nya, dan sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S.Al-An’am
: 165).
Manusia diangkat Allah sebagai khalifah. Kekhalifahan menuntut manusia
untuk memelihara, memimbing dan mengarahkan segala sesuatu agar mencapai maksud
dan tujuan penciptaannya. Karena itu, Nabi Muhammad SAW melarang memetik buah
sebelum siap untuk dimanfaatkan, memetik kembang sebelum mekar, atau
menyembelih binatang yang terlalu kecil. Nabi Muhammad juga mengajarkan agar
selalu bersikap bersahabat dengan segala sesuatu sekalipun tidak bernyawa.
Al-Qur’an tidak mengenal istilah “Penaklukan alam”, karena secara tegas
Al-Qur’an menyatakan bahwa yang menaklukkan alam untuk manusia adalah Allah.
Secara tegas pula seorang muslim diajarkan untuk mengakui bahwa ia tidak
mempunyai kekuasaan untuk menundukkan sesuatu kecuali dengan penundukan Ilahi (Shihab,
1996 : 492-493).
Dengan kedudukan sebagai khalifah itu, manusia diberi tanggungjawab
besar, yaitu diserahi bumi ini dengan segala isinya.
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي
الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ
سَمَوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
"Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu, dan
Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha
Mengetahui segala sesuatu
".
(Q.S.Al-Baqarah:29).
Walaupun manusia diciptakan melebihi makhluk lainnya, manusia tidak
mampu memenuhi keperluannnya sendiri tanpa bahan-bahan yang disediakan Allah.
Dalam pemenuhan kebutuhan biologis dasar, misalnya Allah menyuruh manusia
berfikir dan instrospeksi.
أَفَرَأَيْتُمُ الْمَاءَ الَّذِي
تَشْرَبُونَ , ءَأَنْتُمْ أَنْزَلْتُمُوهُ مِنَ الْمُزْنِ أَمْ نَحْنُ
الْمُنْزِلُونَ , لَوْ نَشَاءُ جَعَلْنَاهُ أُجَاجًا فَلَوْلَا تَشْكُرُونَ
“Maka terangkan kepadaku tentang air yang kamu minum! Kamukah
yang menurunkan dari awan ataukah Kami yang menurunkan? Kalau kami kehendaki,
Kami jadikan diasin, maka mengapakah kamu tidak bersyukur? (Q.S. Al-Waqiah:68-70).
Semua manusia ingin hidup sejahtera, namun kemampuan meningkatkan
kesejahteraan dirinya hampir-hampir tak terbatas, maka sering kali batas
kesejahteraan yang masih dalam batas daya dukung kemampuan diri serta
kelestarian lingkungan bagi sebagian manusia tidak terlihat dan terlupakan.
Upaya meningkatkan kesejahteraan itu sering kali tanpa disadari menjurus kepada
keserakahan yang dalam kesadaran atau
ketidaksadarannya akan merupakan bumerang bagi dirinya, baik secara langsung
maupun melalui terjadinya kemerosotan kualitas lingkungan. Naluri dalam
keutuhan diri manusia untuk bersikap dan berprilaku arif dan bijaksana menjadi
jauh tertinggal. Masalahnya manusia yang serakah ini berbaur dengan manusia
lainnya, sehingga secara frontal seluruh umat manusia dengan segenap lingkungan
hidupnya menghadapi resiko keserakahan ini yang menimbulkan kemunduran kualitas
lingkungan, dan sering kali merambat pula kepada kemunduran jati diri manusia
serta pudarnya makna hakiki dari seluruh kehidupan. (Soerjani, 1996:1).
Pada dasarnya jika manusia mengupayakan pelestarian lingkungan hidup
dengan prinsip keseimbangan dan keselarasan, serta mengembangkan sumberdaya
yang tersedia di alam ini, sesungguhnya upaya pelestarian lingkungan hidup
hanya untuk kepentingan manusia dalam pelaksanaan ibadat dan penyempurnaan amal
saleh. Manusia wajib bersahabat dan bukan menundukkan alam dengan
mengekploitasi lingkungan tanpa kendeali.
V.
Kerusakan Lingkungan Ulah Manusia
Timbulnya kerusakan alam atau
lingkungan hidup merupakan akibat perbuatan manusia. Karena manusia yang diberi
tanggungjawab sebagai khalifah di bumi. Manusia mempunyai daya inisiatif dan
kreatif, sedangkan makhluk-makhluk lainnya tidak memilikinya.
Kebudayaan manusia makin lama makin maju sesuai dengan perkembangan dan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sejalan dengan kemajuan tersebut,
perkembangan persenjataan dan alat perusak lingkungan maju pula.
Banyak contoh yang dapat kita lihat dari kerusakan lingkungan yang
diakibatkan ulah manusia. Misalnya banyak pohon atau hutan ditebang dan dibakar
tanpa ada usaha untuk menamamnya kembali. Bukit dan gunung digali untuk
menguruk daratan rendah yang akan dijadikan pemukiman. Akibatnya banyak musibah
terjadi seperti banjir, tanah longsor dan sebagainya terjadi di mana-mana.
Kemudian binatang yang hidup di sungai ditangkap bukan dengan cara yang baik.
Tetapi karena keserakahan manusia mereka menangkapnya dengan racun atau dengan
dinamit. Akibatnya terumbu karang rusak pula, yang pada gilirannya merusak
ekosistem bahari. Bahkan akibat lebih jauh adalah mengancam keselamatan manusia
itu sendiri.
Kerusakan lingkungan diperparah lagi dengan banyaknya kendaraan
bermotor dan pabrik-pabrik yang menimbulkan pencemaran udara (polusi).
Pencemaran tersebut membahayakan keselamat hidup manusia dan kehidupan
sekelilingnya. Limbah-limbah pabrik seringkali dibuang seenaknya ke sungai yang
akhirnya bermuara kelaut. Demikian pula kapal-kapal tanker yang membawa minyak
sering mengalami kebocoran, sehingga minyaknya tertumpah ke laut. Akibatnya air
sungai dan laut beracun yang menyebabkan mati atau tercemarnya ikan dengan zat
beracun, lebih dahsyat lagi kerusakan lingkungan akibat perang. Semua kerusakan-kerusakan
sebagaimana dikemukakan di atas merupakan akibat dari keserakahan manusia,
sehingga mengekploitasi lingkungannya habis-habisan. Oleh karena itu sejak awal
Allah memperingatkan bahwa kerusakan adalah akibat ulah manusia, sebagaimana
firman Allah dalam Al-Qur’an :
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ
وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي
عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Telah nampak kerusakan di darat
dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada
mereka sebagai dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan
yang benar ). (Q.S. Ar-Rum :41)
Kerusakan yang terjadi sebagai akibat keserakahan manusia ini
disebabkan manusia memperturutkan hawa nafsunya, tidak memperdulikan tuntunan
Allah SWT.
وَالَّذِينَ
كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي
الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ
"Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi
sebagian yang lainnya, jika kamu (wahai kaum muslimin) tidak melaksanakan
ap-apa yang diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka
bumi dan kerusakan yang besar" .(Q.S.
Al-Anfal :73)
Orang-orang berbuat kerusakan dapat digolongkan sebagai orang-orang
munafik atau fasik, sesuai dengan firman Allah SWT ;
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا
فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ, أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ
وَلَكِنْ لَا يَشْعُرُونَ
Dan bila dikatakan kepada mereka
“janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”, mereka menjawab : “Sesungguhnya
kami orang yang mengadakan perbaikan”. Ingatlah sesungguhnya mereka itulah
orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar (Q.S. Al-Baqarah
: 11-12)
Sesungguhnya Allah telah melarang manusia membuat kerusakan di muka
bumi;
…وَلَا تُفْسِدُوا فِي
الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا….
“…Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah
Tuhan memperbaikinya…” (Q.S.
Al-A’raf : 85).
VI. Kesimpulan
1. Agama yang
diistilahkan diin mengandung pengertian pengaturan hubungan manusia
dengan Tuhannya (vertikal) dan hubungan manusia dengan manusia dalam
masyarakat, termasuk dirinya sendiri, dan alam lingkungan hidupnya (horizontal).
2. Manusia selain sebagai
khalifah untuk mengelola dan memanfaatkan alam semesta terutama mengurus bumi
ini dibekali akal yang melahirkan berbagai ilmu sebagai alat untuk mengelola
dan memanfaatkan alam semesta terutama mengurus bumi ini.
3. Pandangan Islam alam raya ini diciptakan Allah, Tuhan Yang Maha
Esa. Allah yang menciptakan sekaligus memelihara alam ini serta mengatur segala
urusannya. Hal ini berbeda dengan paham aliran
materialisme (alam ada dengan
sendirinya) dan penganut aliran Idealisme (alam tidak mempunyai
eksistensi yang riil dan obyektif melainkan semu, palsu, ilusi dan maya atau
sekedar emanasi atau pancaran dari dunia lain yang kongkrit yang disebut dunia
idea).
4. Semua manusia harus bersama-sama mengupayakan kelestarian
lingkungan hidup dengan prinsip keseimbangan dan keselarasan, serta
mengembangkan sumberdaya yang tersedia di alam ini. Kita wajib bersahabat dan
bukan menundukkan alam dengan mengekploitasi lingkungan tanpa kendali sehingga
mengakibatkan kerusakan lingkungan dan mendatangkan bencana.
0 Response to "PANDANGAN ISLAM TERHADAP LINGKUNGAN HIDUP"
Posting Komentar